Jumat, 09 September 2011

Pantai Virgin, Keindahan yang Tersembunyi Jum'at, 9 September 2011 - 15:02 wib



Pantai Virgin (foto: laginulis.blogspot.com)
Pantai Virgin (foto: laginulis.blogspot.com)
MENDATANGI Bali saat berlibur, jangan hanya datang ke Pantai Kuta. Di sana masih banyak pantai yang Indah untuk didatangi. Salah satunya yakni Pantai Prasi yang berada di Kabupaten Karangasem.

Pantai ini termasuk pantai yang belum banyak tereksplorasi oleh banyak wisatawan. Ada beberapa nama yang disemat pantai ini mulai dari Pantai Pasir Putih, Pantai Prasi dan Virgin Beach

Pantai itu dinamakan Pantai Virgin karena memang suasananya masih sepi, aman, nyaman, dan belum banyak tersentuh manusia.

Suasananya masih alami dengan ombaknya yang tergolong sedang. Pantai ini memiliki air yang bening sehingga sangat cocok untuk berenang atau snorkeling dan tentunya juga berjemur yang kerap dilakukan oleh wisatawan dari mancanegara.

Keindahan pantai ini sungguh sangat laur biasa. Terletak diantara dua tebing sehingga pantainya cukup tersembunyi, yakni berada di balik Bukit Bugbug dan Perasi. Untuk menjangkaunya, pengunjung mesti menempuh jarak sekitar 100 meter dari jalan aspal.

Untuk menuju kesana diperlukan stamina yang lebih, karena kondisi jalan yang masih belum baik infrastrukturnya membuat tantangan untuk berkunjung ke pantai ini lumayan terjal.

Pemandangan laut di sini memang luar biasa, ada sensasi tersendiri, karena untuk mencapai ke lokasi medan cukup sulit, tapi masih tetap ditempuh dengan roda empat, kondisi yang masih pure, mengingatkan kita pada Pantai Dreamland waktu pertama kali dikenal oleh wisatawan.

Kondisi Pantai Virgin ini memiliki kondisi alam yang masih terjaga keasriannya dan belum dieksploitasi oleh manusia. Nama “Virgin beach” memang tepat menggambarkan kondisi geografis dan keindahan pantai ini. Letaknya yang berada diantara dua tebing ini membuat pantai Virgin agak sulit ditemukan.

Pantai Virgin atau Pantai Prasi ini berada di Desa Prasi, termasuk wilayah Kabupaten Karangasem, Bali. Jika ditempuh dari Kota Denpasar kira-kira waktu yang diperlukan sekitar 2 ja

Sebagian masyarakat masih mengecap Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (Odha) dengan stigma negatif. Sehingga ada sekat antara Odha yang hidup di tengah masyarakat, namun upaya menghilangkan sekat itu terus dilakukan. Salah satunya lewat sepakbola yang dilakoni para Odha sendiri. Jalan kaki Derajat Ginanjar (31) Bandung-Jakarta merupakan upaya mengikis sekat-sekat stigma atau diskriminasi yang dialami Odha di masyarakat. Dalam perjalanannya, pendiri komunitas Rumah Cemara ini melakukan kampanye tentang HIV/AIDS. Kampanye ini meliputi cara pencegahan hingga sikap yang seharusnya dilakukan masyarakat ketika menghadapi Odha. Jalan kaki Ginan bisa diartikan sebagai unjuk rasa tunggal. Ini menunjukkan bahwa seorang Odha tidak selemah yang dibayangkan. Setelah jalan kaki selama empat hari pada 18 Agustus lalu, Ginan dan sembilan rekannya bertolak ke Prancis sebagai wakil Indonesia yang bertanding sepakbola di ajang piala dunia antar-tunawisma atau Homeless World Cup 2011 di Paris, Prancis. “Keberadaan Odha masih belum dianggap penting,” kata Ginan. “Tapi setidaknya kita bisa berbuat bahwa kita tidak lemah. Di sana kita bukan hanya sepakbola tetapi mengangkat isu HIV/AIDS di Indonesia ke pentas internasional,” tambah pria mantan pengguna napza suntik ini. Jauh sebelum mengikuti event bergengsi itu, upaya melawan stigma negatif tentang Odha telah dilakukan dengan dibentuknya Komunitas Rumah Cemara pada 1 Januari 2003. Komunitas yang bergerak di bidang pendampingan atau advokasi terhadap Odha dan pecandu napza ini dibentuk Ginan dan empat rekan sesama pecandu napza. “Pembentukan Rumah Cemara didasari ketiadaan tempat yang aman bagi Odha. Istilahnya kita para petani yang mengorganisir diri,” tuturnya. Mereka mendirikan organisasi dari bawah, menghimpun para pecandu dan Odha yang terpecah-pecah dalam kelompok kecil maupun individual. Lewat Rumah Cemara yang berkantor di Jalan Gegerkalong Girang 52, Bandung, Jawa Barat, mereka berusaha menggalang kekuatan. Kini, tidak kurang dari 4.000 Odha maupun pecandu di Jawa Barat yang sudah dijangkau Rumah Cemara. Rumah Cemara juga memiliki 40 pekerja tetap atau lebih tepatnya 40 orang pelaku organisasi, memiliki tempat khusus rehabilitasi, dan telah membuka dua kantor cabang yakni di Cianjur dan Sukabumi. Misi mereka adalah terus menerus menjangkau para Odha dan pecandu yang selama ini kurang mendapat perhatian. Rumah Cemara juga mendukung atau mengawal pelaksanaan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Rehabilitasi bagi Pecandu Napza. “Pecandu harus direhab jangan penjarakan,” tegasnya. Aktivis di Rumah Cemara bukan hanya Odha. Salah seorang di antaranya adalah Leonardus Adym yang juga serta berangkat menuju HWC 2011. Dia adalah pelatih divisi sepakbola Rumah Cemara yang memiliki program Football for Change. Program ini menjadikan sepakbola sebagai media kampanye mereka. Dalam pelaksanaannya, mereka menantang tim-tim lain untuk bertanding. Selama melatih, Adym menilai semangat hidup Odha sangat tinggi. Meski terjangkit visrus mematikan yang hingga kini tidak ada obatnya, mereka bisa memandang hidup secara positif. “Selama melatih, saya enggak melihat perbedaan. Dari tampilan fisik sama saja, malah saya kadang heran mereka bisa lebih kuat,” tuturnya. Menurutnya, filosofi bola sangat cocok bagi program kampanye HIV/AIDS karena lewat pertandingan ini akan muncul kebersamaan dan sportivitas. Selain itu, sepakbola juga menjadi olah raga yang menjadi magnet bagi perhatian masyarakat. Keikutsertaan Tim Rumah Cemara di ajang HWC diharapkan mampu menarik empati masyarakat dan pemerintah. Adym bergabung dengan Rumah Cemara sejak 2009, ketika melatih untuk persiapan mengikuti HWC 2010 di Brasil. Sebelumnya, Adym adalah pegiat olahraga yang pernah menyeleksi Tim PON dan PERAPON atlet Kota Bandung, serta turut menyeleksi atlet futsal Kota Bandung. “Saya bisa tertarik bergabung dengan Rumah Cemara karena mendapat pekerjaan di sini. Interest mereka juga gede,” terangnya. Mengenai persiapan menuju HWC 2011, menurutnya tidak ada masalah. Sebagai pelatih, yang menjadi fokusnya adalah memperkuat mental tim yang terdiri dari delapan pemain. Masalah mental menjadi faktor utama yang harus disiapkan, bukan hanya bagi Odha tetapi juga bagi peserta kompetisi umumnya. Soal kekuatan fisik, timnya bisa diadu meski akan melawan tim-tim dari 70 negara yang bukan Odha. Keikutsertaan Tim Rumah Cemara sebagai wakil Indonesia bermula pada 2009. Humas Rumah Cemara, Bonang (26), menuturkan saat itu komunitasnya ditunjuk sebagai national organizer HWC. Tugasnya menyeleksi tim-tim Indonesia untuk mengikuti kompetisi antar-homeless sedunia itu. Jabatan national organizer didapat karena menurut HWC, Rumah Cemara adalah organisasi advokasi bagi Odha yang serius menekuni sepakbola, terutama lewat program Football for Change-nya. Bukti Football for Change Rumah Cemara di Tanah Air, lanjut Bonang, berturut-turut Rumah Cemara menjadi juara 2009 dan 2010 pada kompetisi antar-panti rehabilitasi se-Indonesia yang rutin digelar Badan Narkotika Nasional (BNN). “Maka HWC memilih kita sebagai national organizer-nya. Nanti kitalah yang menyeleksi orang Indonesia untuk mengikuti HWC di tahun berikutnya,” pungkasnya. (kem)

Ilustrasi HIV AIDS (Foto: Ist)
Ilustrasi HIV AIDS (Foto: Ist)
Sebagian masyarakat masih mengecap Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (Odha) dengan stigma negatif. Sehingga ada sekat antara Odha yang hidup di tengah masyarakat, namun upaya menghilangkan sekat itu terus dilakukan. Salah satunya lewat sepakbola yang dilakoni para Odha sendiri.

Jalan kaki Derajat Ginanjar (31) Bandung-Jakarta merupakan upaya mengikis sekat-sekat stigma atau diskriminasi yang dialami Odha di masyarakat. Dalam perjalanannya, pendiri komunitas Rumah Cemara ini melakukan kampanye tentang HIV/AIDS. Kampanye ini meliputi cara pencegahan hingga sikap yang seharusnya dilakukan masyarakat ketika menghadapi Odha.

Jalan kaki Ginan bisa diartikan sebagai unjuk rasa tunggal. Ini menunjukkan bahwa seorang Odha tidak selemah yang dibayangkan. Setelah jalan kaki selama empat hari pada 18 Agustus lalu, Ginan dan sembilan rekannya bertolak ke Prancis sebagai wakil Indonesia yang bertanding sepakbola di ajang piala dunia antar-tunawisma atau Homeless World Cup 2011 di Paris, Prancis.

“Keberadaan Odha masih belum dianggap penting,” kata Ginan. “Tapi setidaknya kita bisa berbuat bahwa kita tidak lemah. Di sana kita bukan hanya sepakbola tetapi mengangkat isu HIV/AIDS di Indonesia ke pentas internasional,” tambah pria mantan pengguna napza suntik ini.

Jauh sebelum mengikuti event bergengsi itu, upaya melawan stigma negatif tentang Odha telah dilakukan dengan dibentuknya Komunitas Rumah Cemara pada 1 Januari 2003.

Komunitas yang bergerak di bidang pendampingan atau advokasi terhadap Odha dan pecandu napza ini dibentuk Ginan dan empat rekan sesama pecandu napza.

“Pembentukan Rumah Cemara didasari ketiadaan tempat yang aman bagi Odha. Istilahnya kita para petani yang mengorganisir diri,” tuturnya.

Mereka mendirikan organisasi dari bawah, menghimpun para pecandu dan Odha yang terpecah-pecah dalam kelompok kecil maupun individual. Lewat Rumah Cemara yang berkantor di Jalan Gegerkalong Girang 52, Bandung, Jawa Barat, mereka berusaha menggalang kekuatan. Kini, tidak kurang dari 4.000 Odha maupun pecandu di Jawa Barat yang sudah dijangkau Rumah Cemara.

Rumah Cemara juga memiliki 40 pekerja tetap atau lebih tepatnya 40 orang pelaku organisasi, memiliki tempat khusus rehabilitasi, dan telah membuka dua kantor cabang yakni di Cianjur dan Sukabumi.

Misi mereka adalah terus menerus menjangkau para Odha dan pecandu yang selama ini kurang mendapat perhatian. Rumah Cemara juga mendukung atau mengawal pelaksanaan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Rehabilitasi bagi Pecandu Napza. “Pecandu harus direhab jangan penjarakan,” tegasnya.

Aktivis di Rumah Cemara bukan hanya Odha. Salah seorang di antaranya adalah Leonardus Adym yang juga serta berangkat menuju HWC 2011. Dia adalah pelatih divisi sepakbola Rumah Cemara yang memiliki program Football for Change. Program ini menjadikan sepakbola sebagai media kampanye mereka. Dalam pelaksanaannya, mereka menantang tim-tim lain untuk bertanding.

Selama melatih, Adym menilai semangat hidup Odha sangat tinggi. Meski terjangkit visrus mematikan yang hingga kini tidak ada obatnya, mereka bisa memandang hidup secara positif.

“Selama melatih, saya enggak melihat perbedaan. Dari tampilan fisik sama saja, malah saya kadang heran mereka bisa lebih kuat,” tuturnya.

Menurutnya, filosofi bola sangat cocok bagi program kampanye HIV/AIDS karena lewat pertandingan ini akan muncul kebersamaan dan sportivitas. Selain itu, sepakbola juga menjadi olah raga yang menjadi magnet bagi perhatian masyarakat. Keikutsertaan Tim Rumah Cemara di ajang HWC diharapkan mampu menarik empati masyarakat dan pemerintah.

Adym bergabung dengan Rumah Cemara sejak 2009, ketika melatih untuk persiapan mengikuti HWC 2010 di Brasil. Sebelumnya, Adym adalah pegiat olahraga yang pernah menyeleksi Tim PON dan PERAPON atlet Kota Bandung, serta turut menyeleksi atlet futsal Kota Bandung.

“Saya bisa tertarik bergabung dengan Rumah Cemara karena mendapat pekerjaan di sini. Interest mereka juga gede,” terangnya.

Mengenai persiapan menuju HWC 2011, menurutnya tidak ada masalah. Sebagai pelatih, yang menjadi fokusnya adalah memperkuat mental tim yang terdiri dari delapan pemain.

Masalah mental menjadi faktor utama yang harus disiapkan, bukan hanya bagi Odha tetapi juga bagi peserta kompetisi umumnya. Soal kekuatan fisik, timnya bisa diadu meski akan melawan tim-tim dari 70 negara yang bukan Odha.

Keikutsertaan Tim Rumah Cemara sebagai wakil Indonesia bermula pada 2009. Humas Rumah Cemara, Bonang (26), menuturkan saat itu komunitasnya ditunjuk sebagai national organizer HWC.

Tugasnya menyeleksi tim-tim Indonesia untuk mengikuti kompetisi antar-homeless sedunia itu. Jabatan national organizer didapat karena menurut HWC, Rumah Cemara adalah organisasi advokasi bagi Odha yang serius menekuni sepakbola, terutama lewat program Football for Change-nya.

Bukti Football for Change Rumah Cemara di Tanah Air, lanjut Bonang, berturut-turut Rumah Cemara menjadi juara 2009 dan 2010 pada kompetisi antar-panti rehabilitasi se-Indonesia yang rutin digelar Badan Narkotika Nasional (BNN).

“Maka HWC memilih kita sebagai national organizer-nya. Nanti kitalah yang menyeleksi orang Indonesia untuk mengikuti HWC di tahun berikutnya,” pungkasnya.
(kem)

Grup Post-Rock Asal Jepang, Mono Konser di Jakarta, 11 Oktober Jum'at, 9 September 2011 - 14:07 wib

   
Poster grup band post-rock, Mono
JAKARTA - Grup band post-rock asal Jepang, Mono, dipastikan akan menggelar konser di Jakarta pada 11 Oktober, di Balai Kartini.

Rencana kedatangan Mono ke Jakarta diumumkan promotor StarD Protaiment melalui akun Twitter, Kamis (8/9/2011) malam. "An exclusive night with Mono (Japan) - 11 Oct ’11, Nusa Indah Theater – Balai Kartini Jakarta. more info soon," tweet StarD Protaiment.

Selain memberitahukan kedatangan Mono ke Indonesia, penyelanggara juga menuliskan harga tiket konser yang dipatok mulai dari harga festival hingga VIP.

"Limited Presale MONO (Japan): Balcony: Rp. 275.000 | VIP: Rp. 360.000 *seated *noseatnumber *priceincludestax mulai 12Sept,” tweet StarD Protainment.

Penjualan tiket presale melalui JakartaConcerts.com & kantor StarD Protainment di Cikini. “Waktu & detail lain menyusul,” ujarnya lagi.

Mono adalah grup band rock instrumental asal Jepang, yang terbentuk pada tahun 1999 di Tokyo, Kanto, Honshu. Band ini terdiri dari Takaakira Goto (gitar listrik, glockenspiel), Yoda (gitar listrik, glockenspiel), Tamaki Kunishi (bass gitar, gitar, piano listrik, glockenspiel), dan Yasunori Takada (drum kit, glockenspiel, synthesizer). (efi)